Senin, 26 Desember 2011

Peran akal dan wahyu menurut Teologi Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Teologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut. Akal sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
            Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran Islam, yaitu pemikiran kalam yang bercorak rasional dan pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas serta tidak terikat kepada makna harfiah dalam memberi interpretasi ayat-ayat al-Quran. Pemikiran kalam ini akan melahirkan sikap hidup dinamis dalam diri manusia. Faham ini terdapat dalam aliran Mu'tazilah dan Maturidiyah Samarkhan[1]. Sedangkan pemikiran Kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku secara mutlak-mutlaknya serta terikat kepada makna harfiah dalam memberi makna-interpretasi ayat-ayat al-Qur'an.
Faham ini terdapat dalam aliran Asyariyah dan Maturidiyyah Bukhara[2]. Dalam beberapa aliran teologi Islam sebagian ada yang berpendapat bahwa akal manusia bisa sampai kepada Tuhan, yang menjadi persoalan selanjutnya ialah sampai dimanakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajinan-kewajiban manusia? Dan juga sampai manakah besarnya wahyu dalam kedua hal itu?.
Kalau kita selidiki buku-buku klasik tentang ilmu Kalam akan kita jumpai bahwa persoalan kekuasaan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan yang bercabang menjadi dua yaitu mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan (husul ma’rifah Allah dan wujud ma’rifah Allah). Masalah kedua yaitu mengenai soal baik dan jahat yang bercabang menjadi dua yaitu mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat ( ma’rifah al-husn wa al-qubh dan wujub I’tinaq wa ijtinab al-qabh yang juga disebut al-tahsin wa al-taqbih).
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi islam yang bersangkutan ialah : yang manakah diantara keempat masalah itu yang dapat diperoleh dengan akal dan yang mana yang melalui wahyu?? Masing-masing aliran memberikan jawabannya masing-masing dan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam makalah ini kami akan mencoba menguraikannya.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, maka muncullah beberapa persoalan sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Akal dan Wahyu 
2.      Bagaimana Pandangan Beberapa Teologi Islam Mengenai Konsep Peran akal dan Wahyu
C. Tujuan
1.      Mengetahui Pengertian Akal dan Wahyu
2.      Mengetahui Perbedaan Beberapa Pandangan Teologi Islam Tentang  Konsep Peran  Akal dan Wahyu
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Akal dan Wahyu
1.Akal

Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aqly yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy, tidak terdapat dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh dalam 1 ayat, ta’qiluun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qiluun 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Tapidari sini timbul pertanyaan apakah pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala? Dalam al-Qur’an sebagai dijelaskan dalam surat al-Hajj ayat  46 yang dikatakan bahwa pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Sebagaimana ayat berikut :

(محمد:24) أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا

Artinya :“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci?”.         (Muhammad : 24)
Dan di dalam  ayat yang lainpun menjelaskan juga bahwa tidak disebutkan bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat di kepala. Al-‘aql malahan dikatakan sama dengan al-qolb yang berpusat di dada. Memang banyak sekali pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagai digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan

2.Wahyu
            Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya.
Dalam pengertian lain, wahyu berasal dari kata arab الوحي, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan pinjaman dari bahasa asing, yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara sembunyi-sembunyi dan dengan cepat. Tentang penjelasan cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh al-Qur’an sendiri. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an.Salah satunya dejelaskan dalam Surat al-Syura : 51 yang artinya :

“ Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”

B. Konsep Peran Akal dan Wahyu
 Menurut Beberapa Pandangan dalam Aliran-Aliran Teologi Islam

1. Mu'tazilah
           
            Mu'tazilah adalah aliran teologi Islam tertua yang dibangun oleh Washil bin Atha' (80-131H) pada awal abad ke-2H. Bagi kaum mu'tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib[3]. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib hukumnya.
            Dalam hubungan ini, Abu al-Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan, dan jika dia tidak berterimakasih kepada Tuhan, orang sedemikian akan mendapat hukuman. Diantara pemimpin mu'tazilah antara lain al-Nazzam juga berpendapat demikian. Begitu pula al-Jubba'i dan anaknya Abu hasyim.
 Menurut al-Syarastani kaum mu’tazilah satu dalam pendapat bahwa kewajiban mengetahui dan berteri makasih kepada Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk dapat di ketahui oleh akal. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa jawaban kaum Mu’tazilah atas pertanyaan di atas: ke empat masalah itu dapat diketahui oleh akal.
Fungsi wahyu bagi faham Mu’tazilah ada beberapa hal yaitu untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang baik dan buruk,menurut ‘Abd al-jabbar akal dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dalam garis besarnya, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai hidup manusia di akherat nanti, ataupun mengenai hidup manusia di dunia. Sehingga oleh karena itu ‘Abd al-jabbar membagi perbuatan-perbuatan manusia kedalam manakir’aqliah(perbuatan yang dicela oleh akal, seperti bersikap tidak adil, berdusta, dll) dan (perbuatan yang dicela oleh syari’at, seperti berzina, minum minuman keras dll). Selain itu dia juga membagi kewajiban manusia ke dalam kewajiban yang diketahui akal (al-wajibat al-‘aqliyah), seperti kewajiban berterimakasih kepada Tuhan dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melalui wahyu atau syari’at (al-wajibat al-syari’ah) seperti ucapan kalimat syahadat dan shalat. Kemudian fungsi wahyu lainnya yaitu untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akherat kelak. Akal tak dapat mengetahui  bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar lebih besar dari upah untuk suatu perbuatan baik yang lain, demikian pula akal tak dapat mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain.dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bagi kaum mu’tazilah wahyu mempunyai fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal, dan dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Fungsi selanjutnya dari wahyu menurut al-Syahrastani adalah untuk mengingatkan manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Akal telah tahu pada tuhan dan telah tahu akan kewajiban terhadap Tuhan, dan wahyu datang untuk mengingatkan manusia pada kewajiban itu. Akal dapat ,mengetahui Tuhan, tetapi melalui jalan yang panjang dan wahyu memperpendek jalan yang panjang itu.

2. Asy’ariah
            Pendiri aliran ini adalah Abu hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (260-324 H/ 873-935 M). Pada mulanya ia adalah murid al-Juba’i, dan menjadi tokoh terkemuka dalam golongan Mu’tazilah dan menyusun suatu teologi sendiri yang bertentangan dengan Mu’tazilah. Aliran inilah yang disebut Asy’ariyah.
Al-asy’ari sendiri menolak sebagian besar dari pendapat kaum Mu’tazilah di atas. Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul kalau akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman[4].
            Akal kata Asy’ari, tidak mewajibkan sesuatu, dia tidak pula menuntut supaya menetapkan baik dan buruk. Jelas bahwa dalam faham Asy’ariyah tentang kemampuan akal berbeda jauh dengan faham Mu’tazilah yaitu hanya satu kemampuan akal, yaitu mengetahui adanya Tuhan dan tidak ada hak akal untuk mewajibkam sesuatu. Bagi kaum Asyariyah, karena akal dapat mengetahui  hanya adanya Tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan penting. Jelas bahwa dalam pendapat aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi  banyak sekali. Wahyu menentukan boleh dikata hampir segala persoalan.Sekiranya wahyu tidak ada, manusia akan bebas berbuat apa saja sesuai kehendaknya dan sebagai akibatnya masyarakat akan berada dalam kekacauan. Salah satu fungsi wahyu, menurut al-dawwani ialah member tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
 Dari kutipan-kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat al-Asy’ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Untuk itulah wahyu diperlukan. Al-Ghazali, seperti al-Asy’ari dan al-Bahdadi, juga berpendapat bahwa akal tak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia; kewajiban-kewajiban di tentukan oleh wahyu. Dengan demikian kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang jahat hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu.

3. Al-Maturidiyah
a. Al-Maturidiyah Samarkhan
Maturidiyah adalah aliran teologi yang dinisbahkan kepada al-Maturidi (lengkapnya: Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi)[5]. Tokoh ini lahir di Maturidi, dan wafat di Samarkhan dan tidak diketahui tahun kelahirannya. Diantara ulama-ulama yang mengikutinya, ada tokoh yang bernama al-Bazdawi, yang memiliki paham teologi yang tidak sama dengan Maturidi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teologi Maturidiyah bercabang dua, yaitu Maturidiyah Samarkhan, yang teologinya masih sama persis dengan apa yang dikemukakan oleh al-maturidi dan Maturidiyah Bukhara, yang teologinya mengikuti paham Bazdawi.
Menurut paham Maturidiyah Samarkhan, berpendapat hampir sama dengan paham Mu’tazilah mengenai kekuatan akal dan wahyu, kalau mu’tazilah mendapat nilai 4 dalam penggunaan akal maka maturidiyah Samarkhan adalah 3. Perbedaanya adalah, kalau Mu’tazilah menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), maka menurut al-maturidi, meskipun kewajiban itu sendiri datangnya dariTuhan.            
Akal bagi pendapat Maturidiyah Samarkhan, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi larangan. Bagi Maturidiyah Samarkhan wahyu diperlukan untuk memberitahukan manusia bagaimana cara berterimakasih kepada Tuhan, menyempurnakan pengetahuan akal tentang mana yang baik dan mana yangburuk serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan diterima manusia di akherat. Tanpa wahyu masyarakat manusia akan hidup dalam kekacauan.

b. Al-Maturidi Bukhara
Aliran Maturidiyah Bukhara dikemukakan oleh Bazdawi, tokoh Maturidiyah cabang Bukhara. Nama lengkapnya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi yang lahir pada tahun 421H dan wafat di Bukhara pada tahun 493H/1099M.[6]
Adanya perbedaan paham antara Maturidiyah Samarkhan dan Maturidiyah Bukhara, disebutkan oleh Abu Uzba. Al-Maturudi sepaham dengan Mu’tazilah, berpendapat bagi maturidiyah Samarkhan kematangan akallah yang menentukan kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak dan bukan tercapainya umur dewasa oleh anak itu.Golongan maturidiyah Bukhara tridak mempunyai paham demikian. Dalam paham mereka akal tidak mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban; akal hanya mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban. Sebagaimana kata Abu uzba, akal bagi mereka adalah alat untuk mengetahui kewajiban dan yang menentukan kewajiban adalah Tuhan. Dengan demikian, akal menurut paham maturidiyah Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi wajib.[7]
Akal dalam Maturidiyah Bukhara mempunyai kedudukan lemah. Wahyulah yang banyak mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, dan akal tidak dapat mengetahui bahwa manusia wajib menjauhi perbuatan-perbuatan baik. Sekiranya wahyu tidak turun dan nabi tidak diutus manusia akan hidup dalam keadaan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap kebaikan dan keburukan dan akibatnya akan timbul kekacauan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Maturidiyah Samarkhan lebih dekat kepada Mu’tazilah dibanding Asy’ariyah, sebaliknya Maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada Asy’ariyah dibanding kepada Mu’tazilah didalam pemikirannya












BAB III
KESIMPULAN

Dari sejumlah uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Kata akal berasal dari kata Arab al-‘Aqly yang artinya mengerti, memahami dan berfikir
Secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan secara cepat dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya.
Polemik yang terjadi antara aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah : yang manakah diantara keempat masalah itu yang dapat diperoleh dengan akal dan yang mana yang melalui wahyu.
Menurut beberapa pandangan Teologi Islam yang memberikan argumennya masing-masing mengenai persoalan-persoalan yang melibatkan peran akal dan wahyu adalah sebagai berikut:
 Menurut kaum Mu’tazilah keempat masalah tadi dapat diketahui dengan akal berbeda dengan paham Asy’ariyah yang mengatakan akal hanya bisa mengetahui pengetahuan saja yaitu mengetahui Allah dan baik dan jahat, sedangkan yang berhubungan dengan kewajiban akal tidak dapat mengetahui dan yang dapat mengetahui adalah wahyu. Kalau menurut paham Maturidiyah Samarkhan ungkapannya hampir mendekati Mu’tazilah hanya saja satu hal yang membedakannya yaitu kewajiban mengetahui baik dan jahat hanya dapat diketahui dengan wahyu. Sedangkan menurut paham Maturidiyah Bukhara ungkapannya hampir sama mendekati Asy’ariyah.
Jadi jika diadakan perbandingan antara keempat golongan ini ditemukan bahwa dua aliran memberikan daya kuat kepada akal, yaitu aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkhan dan dua aliran memandang akal manusia lemah, yaitu aliran maturidiyah Bukhara dan aliran Asy’ariyah.





BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986)
Sumantri.1999.”Buku Ajar Ilmu Kalam”.Surakarta:UMS
http://fillahabadanwahyu.blogspot.com/2011/04/makalah-teologi-islam-analisis-akal-dan.html
Abd al-jabbar Ibn Ahmad, Al-Majmu’ fi al-Muhit bi al-Taklif, Ed.
 J.J. Houban S.J., Vol.I, Beyrouth: L’Institut des Letteres Orientales de Beyrouth, 1965


             Sumantri.1999.”Buku Ajar Ilmu Kalam”.Surakarta:UMS, hal.134
             Ibid


             Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986) hlm.80.


             Ibid hal.82


             Sumantri.1999.”Buku Ajar Ilmu Kalam”.Surakarta:UMS, hal.138



             Ibid hal. 141


             Ibid


Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas


BAB I
PENDAHULUAN
           
            Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam)  dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
            Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam. Dewasa ini, pendidikan Islam di seluruh dunia sedang menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya era globalisasi dan informasi. Tidak dapat dipungkiri betapa pengaruh Barat pada dunia Islam sangat mempengaruhi alur perjalanan kaum muslim terutama dalam bidang pendidikan.
            Menurut Al-Attas (1984) percabangan sistem pendidikan yang ada antara tradisional-modern telah membuat lambang kejatuhan umat Islam. Jika hal itu tidak ditanggulangi maka akan mendangkalkan dan menggagalkan perjuangan umat Islam dalam rangka menjalankan amanah yang telah diberikan Allah SWT. Allah telah menjadikan umat manusia di samping sebagai hamba-Nya juga sebagai khalifah di muka bumi. Keadaan umat Islam jika ingin kembali bangkit memegang andil dalam sejarah sebagaimana di masa kejayaannya, amat ditentukan oleh sejauh mana kemampuannya dalam mengatasi problematika pendidikan yang sedang dialaminya.
            Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual dalam hal pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam. Salah satu gagasannya yang cukup menarik adalah menawarkan term ta`dib sebagai dasar konsep pendidikan Islam.
            Meski demikian, ide-ide Al-Attas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam banyak memperoleh tantangan dari para pemikir yang terlahir dari dunia Barat. Terlepas dari itu, Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini kesohor di kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin menarik.










BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI
            Nama lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin bin Muhammad al-Attas. Beliau lahir di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid.
            Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, dimulai sejak ia masih berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D       

B. PEMIKIRANNYA TENTANG PENDIDIKAN
1. Pengertian Pendidikan Islam
            Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" yang pengistilahan itu diambil dari lafad bahasa Arab (al-Qur'an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib al-Attas. Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta’dib, daripada istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil analisa tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
            Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasannya (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata “addaba“ yang berarti memberi adab, atau mendidik.
            Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan Ta'dib dalam terminologi al-Attas adalah peresapan dan penanaman adab pada diri manusia(serdik) dalam proses pendidikan. Disamping itu adab merupakan suatu muatan atau kandungan yang semestinya ditanamkan dalam proses pendidikan Islam. Mengenai adab dalam konteks ini, al-Attas mendefinisikan sebagai berikut:
Adab berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan dan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah,intelektual serta ruhaniah seseorang”.
            Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999: 275).
            Al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya: “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik”. (HR. Ibn Hibban).
            Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring Konsep Pendidikan menurut Naquib al-Attas.
            Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar paedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material. Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu dipakai.
            Dari sini dapat dipahami bahwa menurut al-Attas, hakikat pendidikan Islam adalah Ta'dib, karena istilah tersebut sudah termasuk tarbiyah atau ta'lim, karena menurutnya ta'dib sudah mencakup unsur-unsur pengetahuan(llm), pengajaran(ta'lim), dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). Selanjutnya menurut al-Attas jika konsep ta'dib ini tidak diterapkan maka akan muncul akibat-akibat yang serius diantaranya:
pertama,kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan, yang pada gilirannya menciptakan kondisi:
kedua, hilangnya adab di dalam umat. Kondisi yang timbul akibat 1 dan 2 adalah:
ketiga, Bangkitnya pemimpim-pemimpin yaang tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan.
            Menurut al-Attas, pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusa, lebih lanjut ia mengatakan: “Mengingat makna pengetahuan dan pendidikan hanya berkenaan dengan manusia saja, dan sebagai terusannya dengan masyarakat pula, maka pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan mesti paling utama diterapkan pada pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri tentang tempatnya yang tepat, yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarganya, kelompoknya atau komunitasnya dan masyarakatnya serta kepada disiplin pribadinya, di dalam mengaktualisasikan dalam dirinya pengenalan dengan pengakuan”. 
2. Tujuan Pendidikan Islam
            Menurut pemikiran Naquib al-Attas yang beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spiritualnya.       Di samping tujuan pendidikan Islam yang menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang ideal tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, “Karena masyarakat terdiri dari perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik” (Al-Attas, 1991:23).
            Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
            Dari diskripsi diatas bisa dipahami bahwa dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
3. Sistem Pendidikan Islam
            Sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan Islam di atas, bahwa al-Attas mendeskripsikan tujuan tersebut adalah mewujudkan manusia sempurna, insan kamil. Dengan begitu, berarti sistem pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan. Maksudnya pendidikan Islam harus mencerminkan aspek manusia itu sendiri, bukannya negara. Perwujudan paling tinggi dan sempurna dari sistem pendidikan adalah Universitas. Menurut al-Attas, Universitas Islam yang dirancang untuk mencerminkan yang universal, harus pula merupakan pencerminan manusia itu sendiri.
            Al-Attas berpandangan bahwa seperti manusia yang terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia). Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah.
            Menurut al-Attas, bahwa akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia.
            Jadi, dalam sistem pendidikan Islam ada tiga tahap atau tingkat (rendah, menengah, dan tinggi ) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan. Seperti yang dijelaskan al-Attas (1991: 41) ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.
            Merujuk hal tersebut bisa dipahami bahwa pembenahan dan rekonstruksi terhadap Universitas merupakan sesuatu yang pertama yang harus dilakukan sebab, ia akan menjadi model bagi level-level dibawahnya. Bila tidak demikian, artinya jika usaha perumusan ruang lungkup dan kandungan dimulai dari tingkat yang paling rendah dikhawatirkan tidak akan berhasil lantaran tidak adanya model yang lengkap yang bertindak sebagai kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan kandungan tersebut.
            Al-Attas mengklasifikaskan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Qur’an; (pembacaan dan penafsirannya). Al-Sunnah; (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya). Al-Syari’ah; (Undang-undang das hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman ihsan). Teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta tindakan-tindakan-Nya). Tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi), dan ilmu bahasa atau Linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusatraan).
            Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan. Menururt al-Attas, bagian yang termasuk ilmu kemanusian seharusnya ditambah dengan pengetahuan Islam. Karena semua disiplin ilmu harus bertolak kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar pengetahuan tersebut ditambahkan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan hal berikut ini:
1.      Perbandingan agama dari sudut Islam
2.      Kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa datang berbenturan dengan Islam.
3.      Ilmu-ilmu linguistik; bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, dan literatur.
4.      Sejarah Islam; pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat-filsafat sains Islam, Islam sebagai sejarah dunia (al-Attas, 1990:91).
Dari diskripsi diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sesuai dengan pandangan al-Attas tentang ilmu, ia melihat bahwa Universitas Islam tidak dapat mencontoh begitu saja pada Universitas Barat yang senantiasa memisahkan ilmu pengetahuan dan nilai dalam dua bidang yang dipisahkan oleh ruang hampa. Universitas Islam mesti mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan nilai demi terwujudnya manusia ideal, yaitu manusia beradab.

C. AKTUALISASI KONSEP AL-ATTAS DALAM KONTEKS PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER
1. Corak Pemikiran Pendidikan
            Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas sebagaimana telah dideskripsikan, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu pendidikan terpadu.
            Hal tersebut dapat secara jelas dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni terwujudnya manusia yang 'baik', yaitu manusia yang universal(Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: Pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a). dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b). dimensi eksoterik, dialektikal, horizontal, yaitu membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, dzikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang yang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dahulu paradigma pendidikan yang terpadu.
            Dari deskripsi di atas, dapat ketahui bahwa orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
            Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain Iman diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal yang rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Domain Iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.
2. Kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini
            Untuk memotret bagaimana kondisi dunia pendidikan Islam dewasa ini, setidaknya bisa dicerna pandangan dan penilaian kritis para cendekiawan muslim, dimana secara makro dapat disimpulkan bahwa ia masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Walaupun statemen ini berupa tesis atau hipotesa yang perlu dikaji ulang, tetapi ia sangat penting sebagai cermin dan refleksi untuk memperbaiki wajah pendidikan Islam yang dicita-citakan.
            Prof. Dr. Isma’il Raji Al-Faruqi dalam karya monumentalnya islamization of knowlegde: general principles and workplan mensinyalir bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat memprihatinkan, berada di bawah anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Al-Faruqi meyakini bahwa kondisi umat islam yang memprihatinkan ini, disebabkan oleh sistem pendidikan yang dipakai jiplakan dari sistem pendidikan Barat, baik materi maupun metodologinya (AL-Faruqi, 1984:17).
            Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada dalam arus perubahan yang sangat dahsyat seiring datangnya era globalisasi dan informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya modernisasi yang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sektor termasuk pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan.
            Sehubungan dengan itu Fazlur Rahman Anshari yang selanjunya dikutip oleh Muhaimin, menyatakan : bahwa dunia Islam saat ini menghadapi suatu krisis yang belum pernah dialami sepanjang sejarahnya, sebagai akibat dari benturan peradaban Barat dengan dunia Islam.
Khursyid Achmad, seorang pakar muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh sistem pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu: Pertama, pendidikan telah gagal mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar. Kedua, pendidikan semacam ini gagal menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa generasi muda. Pendidikan semacam ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi gagal memenuhi kebutuhan jiwa. Ketiga, pendidikan liberal membawa akibat terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan ilmu dalam kesatuan yang utuh. Empat, selanjutnya pendidikan liberal menghasilkan manusia yang tiadak mampu menghadapi masalah kehidupan yang mendasar. (Achmad, 1992:22-23).
            Sementara Al-Attas melihat bahwa universitas modern (baca:Barat) tidak mangakui eksistensi jiwa atau semangat yang ada pada dirinya, dan hanya terikat pada fungsi administratif pemeliharaan pembangunan fisik.
            Dari berbagai pemaparan di atas Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terinvensi konsep pendidikna Barat. Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan yang menitik beratkan pada segi teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
3. Menuju paradigma pendidikan Islam
            Melihat kondisi pendidikan dewasa ini sebagaimana telah dideskripsikan, maka peniruan terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan dengan cita-cita pendidikan Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita islam.
            Dalam wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang pentingnya realisasi paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapia kesejahteraan di dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Disamping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia. Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan itu.
            Ketiga, dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena kependidikan (Lihat Achmadi, 1992: viii-ix).
4. Aktualisasi konsep Al-Attas dalam pendidikan Islam masa kini
            Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta’dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis maupun aksiologis.


BAB III
KESIMPULAN

            Dari berbagai deskripsi di atas, dapat ketahui bahwa secara orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal.      
Pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif dan psikomotorik. Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Apabila ditelaah dengan cermat pula, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.

Jadi Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1.      penetapan konsep yang tepat untuk digunakan dalam pendidikan Islam sebagaimana didefinisikan, dalam hal ini adalah Ta’dib, bukannya Tarbiyah atau Ta’lim. Hal ini dikarenakan dalam ta’dib itu sendiri sudah tercakup kedua istilah tersebut,
2.      tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan yang dimaksudkan al-Attas adalah insan kamil atau manusia universal. Hal ini merujuk pada pribadi Nabi saw, yang merupakan perwujudan manusia sempurna, sedangkan pendidikan diarahkan pada terwujudnya potensi dan bawaan manusia sehingga bisa sedekat mungkin menyerupai Nabi saw.
3.      Melihat realita dalam dunia pendidikan dewasa ini, kiranya menuntut untuk mengubah konsep dasar pendidikan Islam yang selama ini digunakan dalam pendidikan Islam, hal ini dikarenakan sifat-sifat konsep tersebut yang tidak sesuai dengan konsep dasar pendidikan Islam sebagaimana yang dikehendaki.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul khaliq dkk.Pemikiran Pendidikan Islam .“kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer” IAIN Walisanga dan Pustaka Pelajar. Semarang: 1999
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. penerbit pustaka. Bandung : 1981.
http://rovensmanjuh.blogspot.com/2011/09/konsep-pendidikan-menurut-syed.muh.naquib.al-attass




Copyright @ 2013 Belajar PAI & BP.